BAB 7
Roh Kudus dan Seni Bangunan Gereja Serta Pakaian Ibadah
7.1. Roh Kudus dan Seni Bangunan Gereja
Dalam Roh Kudus gereja dituntut untuk mengungkapkan bentuk kehidupan Kristennya dalam merancang bangun dan menata ruang kebaktiannya menjadi alat pelayanan yang fungsional dan efektif. Di dalam kuasa Roh Kudus kita dituntut untuk memngembangkan daya imajinasi dan kreatifitas kita tetapi sekaligus mengubah jiwa kita untuk bersesuaian dengan kehendak Allah. Ini berarti setiap yang terlibat dalam pembangunan rumah gereja memberi diri kepada Roh Kudus yang memberi daya ilham serta motivasi dan kemampuan untuk melaukan tugas kita di bidang seni bangunan gerejawi. (Damamain, 1993:127)
7.2. Deskripsi umum tentang Seni Bangunan Gereja sebelum dan sesudah Reformasi Gereja
Jemaat Perdana sebagaimana yang disaksikan dalam PB tidak mempunyai tempat ibadah sebagaimana pengalaman kita lakukan sekarang. Mereka beribadah dari rumah ke rumah secara sembunyi-sembunyi karena persekutuan Kristen pada waktu itu dilarang oleh pemerintah Romawi.
Gereja memiliki tempat ibadah sendiri setelah tahun 380, yaitu ketika kaisar Theodosius Agung menjadikan Kristen sebagai agama negara Romawi. Sejak saat itu timbullah kebutuhan untuk membangun rumah Gereja yang umum dan besar. Bangunan Gereja pada waktu itu umumnya berbentuk “Basilica” (“serambi Rajawi”/rumah mewah). Gedung Gereja yang berbentuk Basilica terdiri dari dua sisi luar dan satu sisi dalam yang lebih tinggi. Sisi bangunan dalam Gereja diterangi oleh jendela-jendela yang yang ditempatkan di bagian atas dari gedung. Ruang Gedung Gereja ditutup oleh suatu absis yang setengah bulat. Uskup duduk di tahtanya di dalam absis dan dari sana ia berkata-kata kepada jemaat. Bagian tengah gedung Gereja terdapat mezbah atau meja perjamuan, yang dilindungi suatu pagar terhadap anggota-anggota jemaat yang berdesak-desakan di mukamya. Pelayanan Perjamuan Kudus dilayani oleh Uskup di situ. Ruang perayaan Perjamuan ditutup dengan tirai (=gordin).
Sesudah abad ke IV Gedung Gereja berbentuk Basilica dikenal juga di Siria dan Asia kecil (Timur Tengah). Basilica-basilica di Siria dan Asia Kecil kadang-kadang mempunyai dua menara.
Disamping Basilica, bentuk bangunan yang lain adalah berbentuk “bangunan sentral” yang memakai kubah. Gedung-gedung ini kadang bersudut delapan, kadang berbentuk salib. Kadang juga bentuk bangunan gereja merupakan penggabungan dari bentuk sentral dengan bentuk persegi empat. Sesudah tahun 1000 Masehi bentuk Gereja mengikuti bentuk “gaya Romanus”. Gedung Gereja model Romanus mengikuti gaya bangunan biara di Perancis. Cirinya yang menonjol adalah tembo-tembok gereja yang tebal.
Pertengahan abad XII muncul di Perancis bentuk bangunan Gereja “gaya Gotik”. Ciri-ciri bangunannya: tembok-temboknya tidak terlalu tebal tetapi menahan (=memikul) jendela-jendela yang lebih besar. Bangunannya tinggi menjulang. Bangunan gaya gotik ini dapat dilihat dalam bangunan Gereja Katedral. Tradisi Reformasi tentang seni Bangunan Gereja.
Para Reformator mengakui seni bangunan gerejawi namun menolak bentuk-bentuk lahiriah dari pengungkapan kepercyaan Kristen melaui seni membangun Gedung Gereja. Menurut tradisi Reformasi, bentuk yang pertama yang diperoleh kepercayaan adalah kebaktian dan pemuliaan TUHAN. Yang kedua adalah hidup kesesuaian yang dipenuhi oleh perasaan syukur, dan yang ketiga adalah dalam bidang seni. Menurut Reformator, yang diutamakan dalam seni bangunan Gereja adalah factor keindahan tanpa pemborosan. Yang dipentingkan dalam seni bangunan dan penataan ruang ibadah adalah kebaktian dan pelayanan dengan berusaha menghindari pemborosan, dan bentuk materialisme secara lahiriah.(Damamain, 1993:126-128) Bangunan Gereja di Indonesia umumnya adalah gedung-gedung yang panjang dan berbentuk segi empat. Ada pula bentuk-bentuk lain seperti gaya gotik seperti yang dimiliki gereja Katolik Indonesia, khususnya Gereja Katedral.
7.3. Pakaian Liturgi
7.3.1. Toga: Pro dan Kontra pemakaian toga sebagai pakaian jabatan
Kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia mengenal dan menggunakan semacam “pakaian jabatan” yang diambil dari gereja-gereja partner di Eropa dan Amerika. Pakaian jabatan yang dimaksud adalah “Toga” yang dipakai dengan “Bef” (=dasi putih) dengan atau tanpa stola (pita yang lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Toga biasanya di pakai oleh mereka yang telah ditahbiskan dalam jabatan pendeta. Selanjutnya pakaian itu dipakai dalam setiap acara Ibadah Gereja. Menurut Kuyper dan Gereja-gereja Reformasi di Belanda menolak pakaian jabatan (dihapus) dan digantikan dengan pakaian yang biasanya dipakai oleh semua orang, karena toga bukan pakaian Gereja atau pakaian liturgis atau pakaian pendeta. Toga sebenarnya adalah pakaian biasa yang dipakai sarjana-sarjana Romawi pada waktu itu. Toga juga adalah pakaian orang Romawi. Tanpa toga maka orang merasa pakaiannya tidak lengkap dan karena itu tidak sopan. Kemudian toga terdesak dan hanya dipakai sebagai pakaian pesta atau pakaian jabatan. Toga kemudian dipakai sebagai pakaian akademis untuk maha guru dan mahasiswa atau pakaian jabatan hakim. Pemakaiannya dalam Gereja Protestan, khususnya di Amerika, yaitu di Gereja Methodis dan Baptis. Di Nederland pemakaian pakaian jabatan gereja roma diganti dengan tabbet atau toga kemudian oleh keputusan Sinode tahun 1854 mengharuskan pendeta memakai toga dalam pelayanan Ibadah Gereja. Keputusan inilah yang berkembang ke Indonesia. Pakaian jabatan atau toga yang telah kita bahas hanya berlaku di beberapa Gereja Protestan arus Calvinis, Lutheran, Anglican, Baptis tetapi di Gereja-gereja Pentakosta dan lainnya tidak memakai toga dalam pelayanan Gereja. Biasanya memakai Jas. Jadi hal ini berpulang kepada masing-masing denominasi Gereja dengan Teologi yang dianutnya. Apakah memakai toga atau Jas/sejenisnya dalam pelayanan Gereja itu bergantung pada Gereja yang bersangkutan. Disini saran saya yaitu mari kita setia kepada aturan Gereja di mana kita di tempatkan untuk melayani. Jika Gereja tempat kita melayani mengharuskan kita memakai toga dalam pelayanan Gereja maka kita lakukan itu dengan kesadaran bahwa semuanya hanya untuk pelayanan kemuliaan Tuhan bukan memakai toga untuk sebuah kesombongan rohani. Sebaliknya jika kita berada di Gereja yang tidak mengharuskan kita memakai toga tetapi hanya memakai Jas atau pakaian yang biasa dipakai umum maka kita lakukan itu dengan kesadaran pelayanan kepada Tuhan tanpa harus mengejek atau menyindir kepada rekan kita yang memakai toga ataupun sebaliknya yang memakai toga tidak menyindir yang tidak memakai toga. 7.3.2. Jas atau pakaian yang biasa dipakai secara umum Bagian ini disesuaikan dengan Gereja di mana kita melayani. Pengalaman kami dalam pelayanan pertukaran mimbar antar anggota PGI wilayah DKI menunjukkan ada Gereja yang mengharuskan memakai Toga sementara ada juga yang memperbolehkan memakai baju pendeta dengan bef dan Jas (Pengalaman saya di salah satu Jemaat Gereja Methodis wilayah Jakarta Pusat), sementara di HKBP dan GPIB saya harus memakai Toga, bef dan Stola. Memang Gereja dimana saya melayani yaitu GKSI mengenal pakaian Toga, bef dan stola. Tetapi dalam pelayanan Gereja tidak mengharuskan memakai Toga, kecuali dalam ibadah sakramen Perjamuan Kudus, Ibadah Pernikahan, Ibadah Pemakaman. Sementara dalam ibadah Minggu boleh dan tanpa toga dalam pelayanan mimbar.
7.3. Putih-Hitam (Pakaian PK)
Ada Gereja tertentu yang menjadikan pakaian warna putih dan hitam sebagai pakaian seragam dalam mengikuti sakramen Perjamuan Kudus. Tetapi di Gereja-gereja lain bias memakai pakaian biasa atau bukan hitam putih. Tidak ada kemutlakan untuk itu. Terserah kepada Gereja di mana kita melayani.
BAB 8
Suasana Ibadah dan Penyusunan Liturgi Kontekstual
8.1. Suasana Ibadah
Jika kita masuk dalam gedung gereja untuk mengikuti ibadah maka suasana bagaimana yang kita rindukan?. Dalam ibadah sesuai definisi ibadah maka kita datang dalam sebuah pertemuan yang luar biasa yaitu pertemuan di mana Tuhan bertemu dengan jemaat dan jemaat bertemu dengan Tuhan. Lalu suasana apa yang kita inginkan dalam pertemuan itu.
Riemer mengusulkan beberapa suasana dalam ibadah berikut ini.
1 Sentosa (Maz. 122:6,7)
2 Diam (Maz. 131:2)
3 Kelegaan (Maz. 11:28-29)
4 Tunduk kepala, rendahkan hati (Maz. 95:6)
5 Keluh Kesah (Maz. 5:2,3)
6 Dengar (Maz. 81:9)
7 Segar (Maz. 23:2-3)
8 Muda dan Puas (Maz. 103:5)
9 Gembira dan musik (Maz. 43:4)
10 Terang (Maz.97:11)
11 Sorak-sorai (Maz. 100:2)
12. Menyanyi (Ef. 5:19; Kol. 3:16)
13. Marah (Maz. 6:2)
14. Angkat kepala (Maz.27:5-6; Maz,103:4)
15. Lucu/tertawa (Maz.126:2)
16. Bosan
17. Suam-suam kuku (Why. 3:16)
18. Dangkal (Yeh. 13:10-12) (G. Riemer, t.th.:47-53)
8.2. Penyusunan Liturgi Kontekstual
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam menyusun Liturgi Kontekstual
1. Alkitab
Alkitab menjadi standar yang tidak dapat ditawar-tawar dalam menyusun sebuah liturgy. Artinya penyususnan liturgy harus mempertimbangkan ajaran Alkitab. Disini Ilmu Liturgi harus tunduk kepada Alkitab sehingga menjunjung tinggi senua unsure, semua petunjuk atau perintah yang diberikan Allah sendiri untuk ibadah masa kini. Unsur-unsur liturgy kontemporer yang akan kita buat mesti memperhatikan ajaran Alkitab.
2. Ajaran Gereja/Dogma
Dalam membuat liturgy, factor dogma Gereja juga turut mempengaruhinya. Artinya penyusun liturgy mesti memperhatikan dogma Gereja. Misalnya tentang ekaristi,
3. Ajaran Gereja/Dogma
Dogam atau teologi yang dimiliki seseorang atau kelompok penyusun liturgy kontemporer kontekstual turut menentukan dalam menyusun liturgy, dengan dogma yang dimiliki ia mampu mempertimbngkan hal-hal dalam kebudayaan setempat yang hendak dimasukkan dalam liturgy.Disini dapat dikatakan bahwa liturgy Gereja mencerminkan dogma atau teologi yang dimilikinya oleh Gereja pembuat liturgy tersebut.
4. Persekutuan Gereja
Liturgi yang dibuat harus mempertimbangkan persekutuannya dengan Gereja-gereja lain yang seasas. Hal ini bertujuan agar jemaat yang seasas dapat mengikuti liturgy ibadah dengan baik di jemaat atau Gereja lain yang seasas ketika karena pekerjaan atau alasan lain berpindah ke tempat lain, dan disana ia dapat mengikuti ibadah dengan baik, dengan kata lain ia tidak menjadi orang asing dalam ibadah Gereja yang baru karena tata ibadahnya sama dan lagu-lagu yang dinyanyikan pun ia mengetahuinya. 5. Misioner Penyusunan liturgy juga harus mempertimbangkan aspek missioner dari Gereja, yaitu pekabaran Injil. Setiap jemaat pada dasarnya adalah jemaat missioner. Artinya jemaat berminat untuk memberitakan Injil Yesus Kristus kepada dunia di mana ia berada. Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa aspek missioner ini perlu diperhatikan supaya menolong jemaat untuk secara praktis berusaha menarik orang yang belum mengenal Kristus supaya masuk dalam Gereja. Jemaat dapat mendorong orang lain datang ke Gereja. Semuanya ini harus dipertimbangkan dalam penyususunan sebuah liturgy yang konetmporer dan kontekstual.(Riemer, t.th.: 32)
6. Kebudayaan
Salah satu aspek yang krusial dari zaman ke zaman adalah liturgy ibadah dan kebudayaan. Dikatakan rumit karena bentuk liturgy ibadah di Yerusalem, Korintus, di Roma dan Jakarta pasti berbeda karena perbedaan kebudayaan. Dengan kata lain ada pengaruh kebudayaan yang kuat terhadap suku bangsa atau orang yang menerima Injil. Jika demikian haruskan penyesuaian dengan kebudayaan setempat? Hal ini menjadi pergumulan sepanjang zaman, dan itu biasanya dibicarakan dalam Liturgi dan Kebudayaan, yang didalamnya dibahas istilah-istilah yang terkait seperti: akulturasi, inkulturasi, kontekstualisasi, possesio, dsb. (Riemer, t.th.33). Tetapi factor kebudayaan menjadi aspek penting dalam pembuatan liturgy. Dikatakan penting karena alas an fungsionalitas dari Liturgi tersebut. Artinya liturgy ibadah Gereja hanya dimengerti dan diikuti secara baik oleh anggota Gereja bila kebudayaan dari jemaat yang sedang berbakti turut diperhitungkan tempatnya di dalam liturgy.
7. Etnologis dan antropologis
Faktor etnologis dan antropologis ini dilandasi oleh prinsip bahwa setiap bangsa mempunyai sifat yang berbeda. Misalnya emosi atau cara mengungkapkan emosinya dalam gerak-gerik, musik, cara bicara, cara berpikir, pandangan dunia, seperti pengaruh pandangan dunia adat yang masih mempengaruhi pengertian manusia akan penggunaan berbagai unsure kebaktian (Riemer, t.th. :33). Ini suku tertentu yang kesukaannya berkumpul dan menyanyi dengan nada tinggi dan merdu dengan atau tanpa cirri khas musik suku tersebut. Kelompok ini akan senang bila alat musiknya, irama musiknya diberi tempat dalam liturgy Gereja. Dengan demikian maka aspek etnologi dan antropologi mesti diperhitungkan ketika hendak menyusun liturgy ibadah Gereja.
8. Dunia Gereja
Dunia gereja yang mempengaruhi penyusunan liturgy gereja adalah keadaan ekonomi Gereja. Jika keadaan ekonomi Gereja tidak baik maka Gereja tidak mungkin membeli alat-alat musik yang baik, ia hanya memakai apa yang ada yang mungkin jemaat sudah jenuh dengan alat musik yang itu-itu saja. Keadaan Gereja yang lain adalah keadaan iklim yang juga turut mempengaruhi Gereja. Keadaan lain yaitu keadaan politik, jika Gereja dianiaya atau Gereja tidak aman maka akan mempengaruhi liturgy ibadah. Tetapi bila keadaan politik mendukung maka itu akan sangat baik untuk penyusunan liturgy ibadah Gereja.(Riemer, t.th. :34)
9. Buka mata, buka hati, luaskan cakrawala terhadap Teori Liturgi Kreatif Model Wim Davidz sebelum ke Desain Liturgi Gereja oleh Mahasiswa
6. Liturgi (Kreatif) dan komunikasi: 6 pokok bahasan. Lihat lampiran
7. Liturgi Kreatif: Menyangkut 5 pokok bahasan. ;lihat lmpiran. Lihat lmpiran
8. Pengamatan lapangan. Lihat lampiran